Teka-Teki Cinta

“Siapakah wanita terkuat di Indonesia? Kalo elo bisa jawab, gue bakal gendongin elo ampe kantin. Tapi kalo elo gak bisa, ya… elo kudu gendong gue” sebuah suara memecah suasana ketika jam istirahat tiba di SMA Harapan Bangsa. “Oke?”

“Mm.. mm… siapa ya? Ibu kita Kartini” Edo menjawab sekenanya.

”Salah..” Toni memberi komentar atas jawaban Edo.

“Mak Lampir..”

”Wuah. Mak Lampir pale lu peang. Ngasal lo! Salah dodol…”

“Abis apa dong, coy?” katanya sambil garuk kepala kribonya. Persis mirip brekele.

“Mau tau?”

“Iya, tempe…”

“Gendong gue dulu sampe kantin”

“Sori la yauw..”

“Ya udah berarti gak dikasih tahu!”

“Payah lu!”

“Jawabannya Nyonya Meneer tahu. Abis doi tuh berdiri aja dari tahun 1921. Ha..haa. Gendong-gendong. Gendong-gendong….” Toni yang berambut tipis (sebuah eufimisme dari kata botak) tertawa tergelak-gelak penuh kemenangan. Sikapnya memaksa Edo tersenyum kecut. Tapi akhirnya keduanya tertawa tergelak-gelak, sampe membahana. Ibu Eva, guru Bahasa Indonesia mereka -yang belum keluar kelas- aja ampe kaget.

“Kalau bermain di luar ya! Jangan di kelas, anak-anak ”, katanya menggunakan Bahasa Indonesia dengan ejaan yang disempurnakan sambil mengacungkan tangan. Uppss. Otomatis kedua murid nakal itu kontan diam. Sambil membungkuk ala orang Jepang keduanya berkata, “Baik Ibu Guru..”. Ibu Eva cuma bisa senyum sambil geleng-geleng kepala.

“Ayo gendong gue ampe kantin, kribo!” kata Toni. Si Edo terpaksa menggendong makhluk botak itu. Rada geli aja membayangkan dirinya botak seperti Toni. Jangan sampe..jangan sampe.. tujuh turunan anak gue kudu mewarisi “trah” kekriboan, kata Edo dalam hati.

“Cihuuuy…” seru Toni

Ada-ada aja. Emang udah gak aneh, dua anak gila itu. Kalo udah ketemu. Ya, gitu deh jadinya. Kelakuannya persis Edwin-Jodi yang pernah nongol di tipi-tipi. Mereka selalu beruntung. Waktu kelas 1 mereka sekelas. Dan di kelas 2 ini, mereka pun ditakdirkan untuk sekelas lagi.

“Bosen gue ame elo lagi di kelas 2 ini” kata Toni ketika tahu dirinya sekelas dengan Edo

“Kita ditakdirkan memang untuk bersama..” kata Edo kegirangan.

“Alaah alesan. Tapi kalo dipikir-pikir (siapa yang mo mikir ya).. elo bener juga!”

“Embeeer plastik.. Kita seperti Romeo dan Juliet. Gue Romeo-nya, elo Julietnya” kata Edo pada Toni. “Eh, salah ding! Masa Juliet botak kayak elo” Edo meralat ucapannya.

“Mari kita berjalan bersama, kakanda” kata Toni dengan suara wanita yang dibuat-buat sambil bergandeng tangan dengan Edo ala bangsawan. Anak-anak yang pada ngeliat adegan ini otomatis pada ketawa ngakak dan bertepuk riuh. Seolah-olah nongton opera topeng monyet di jalanan. Malah ada yang ampe nangis segala, saking lucunya. Ha..ha…Dasar sambleng. Beberapa guru pun gak bisa berbuat apa-apa. Mereka cuma bisa senyum doang walaupun dalam hati, mereka juga pengen ngakak kayak muridnya. Tapi jaga gengsi la yauw…





Satu hal yang menjadi komitmen bersama adalah gak boleh pacaran selama kembarannya belum punya pacar. Dan itu udah mereka jalanin sampe sekarang. Segalanya harus dijalani bersama, saling berbagi kesenangan dan penderitaan. Duh, dalem banget tuh. Saluut.Pokoke, dimana ada Edo, disitu pasti ada Toni. Begitu juga sebaliknya. Kedua sifat yang hampir mirip ini ternyata mempertemukan mereka berdua. Bagi Edo, Toni udah seperti saudaranya sendiri. Begitu juga sebaliknya.

Mereka persis anak kembar kalo diliat dari Hongkong. Makanya banyak anak-anak yang julukin mereka Si Kembar Siang (bukan kembar siam-red). Abis ketemunya suma siang doang sih, pas sekolah gitu. Ah, gak juga. Kadang, mereka juga ketemuan kalo malem. Bahasa bakunya (jadi inget Ibu Eva), saling berkunjung atau beranjang sana. Kemana-mana harus berdua. Beli makanan pun harus sama. Model baju pun berusaha dimirip-miripin. Yang beda ya..cuma gaya rambut mereka aja. Yang jelas, kalo ada mereka, suasana pasti bakalan jadi rame banget. Suaranya itu yang bikin gak tahan. Dari jarak 1 km aja pasti udah kedengeran (terlalu hiperbolis ya!). Masing-masing orang dari mereka nyumbang 10 suara. Jadi kalo ada studi kasus; ada tiga orang ngobrol, satuorang trus ditambah Edo dan Toni, yakin deh suaranya bakalan bisa nyaingin 21 satu orang. Ha..ha..

***

“Tet..tet..” Bunyi bel tiba-tiba menjerit seolah memaksa murid-murid SMA Harapan Bangsa buat masuk lagi penjara (Upps.. ruang kelas maksudnya). Sepertinya mereka merasa kecewa karena kebebasannya untuk beristirahat lebih lama dirampas oleh bunyi bel tersebut. Di ruang kelas 2, seorang guruperempuan masuk bersama seorang gadis.

“Anak-anak sebelum pelajaran dimulai, Ibu perkenalkan dulu teman baru kalian. Namanya Mira” kata Ibu Ania, guru Kimia mereka dengan wajah kaku. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Rambutnya hitam, panjang dan lurus. Cantik banget deh. Apalagi pas dia senyum. Ada lesung pipit yang begitu indah. “Nah, Ibu kasih waktu lima menit buat perkenalan. Ayo, Mira”. Sambil mengangguk, Mia maju ke depan.

“Nama saya Mira Aurelia. Panggil saja saya Mira. Saya pindahan dari SMA Insan Cendekia karena orang tua saya dipindah tugaskan di daerah sini”. Semuaorang seperti terbius. Selain cantik, Mira ternyata punya suara yang aduhai dengan intonasi yang baik. Ibu Eva bisa dapet saingan baru nih.

“Hobinya apa neng?” Edo tiba-tiba nyeletuk. Huu.. anak-anak berteriak heboh.

“Hobi saya membaca” kata Mira sambil tersenyum.

“Rumah..rumah… No telepon.. tanggal lahir… “ Toni seperti tidak mau kalah dan disambut teriakan huu.. yang semakin kencang dari teman-temannya.

“Saya tinggal di Komplek BTN No. 25. Untuk no telepon dan tanggal lahir, silahkan lihat ke TU saja” katanya masih dalam senyum.

“Udah punya pacar belum, neng?” Kata Edo makin berani. Anak-anak makin heboh. Mira Cuma tersenyum. Lagi-lagi lesung pipitnya itu yang gak nahaan.

“Sudah cukup. Ayo Mira kamu duduk sebelah Retno. Kita lanjtukan pelajaran minggu lalu” Bu Ania yang terkenal tegas itu memberi perintah. Mira pun menuju bangku yang telah ditunjuk.

“Baiklah.. Siapa yang masih ingat pelajaran pelajaran minggu lalu. Apa rumus kimianya urea?” kata Ibu Ania. Tapi anak-anak rada kurang konsen. Mereka masih memikirkan betapa cantiknya murid baru yang akan jadi teman mereka.

“Ayo.. siapa yang masih inget. Cepat!!” Nada Ibu Ania mulai meninggi. Murid-murid sadar dan mulai membuka-buka buku kimianya”

“Jangan buka-buka buku!”kata Bu Ania sadis. “Coba kamu Edo?”

“Mm..NH3 ya, Bu!” sambil garuk-garuk rambut kribonya. Sambil cengengesan.

“Salah!” kata Ibu Ania ketus. “Coba kamu, Toni?”

“C6H12O6, Bu” katanya dengan yakin. Jawabannya pasti bener deh.

“Salah! Itu sih Glukosa. Gimana sih? Apa tadi malem nggak pada belajar?”

Selanjutnya Ibu itu menunjuk Didi, Tina, Hengky, Parman, Tuti, Nengsih, Cecep. Tetapi tetap belum ada yang benar. Huh.. Ibu itu makin gemes dan ngomel nggak karuan. Salah sendiri. Abis ngasih pertanyaan kok yang susah-susah sih. Coba ditanya, nama kamu siapa, pasti bisa jawab, gerutu mereka dalam hati.

“Apa nggak ada yang bisa sekelas ini? Pada dikemanain otak kalian?” suara Ibu Ania makin melengking. Anak-anak pada diam semua.

“Rumus Urea adalah CO(NH2)2, Bu…” Tiba-tiba seorang siswa menjawab.
Kontan seluruh mata memandang ke asal suara. Mira, ya.. yang menjawab pertanyaan itu si Mira, siswa baru itu.

“Iya bener” Akhirnya suara Ibu Ania menurun. “Masa kalah sama murid baru”.

Gilaa. Selain cantik, Mira ternyata juga pinter. Anak-anak makin kagum, terutama yang cowok-cowok. Yang cewek rada-rada gimana gitu. Ada yang sebel, tapi ada juga yang seneng karena merasa lolos dari omelan Ibu Ania lebih lama lagi.

Edo makin kagum sama cewek baru itu. Ada sebongkah perasaan yang tiba-tiba tertahan di hatinya. Cinta pada pandangan pertama. Wah, gawattt!!!

***

“Mir, kalo ini gimana caranya?” Kata Edo menanyakan soal.

“Oh, kalo itu begini….” Kata Mira sambil nerangin cara mengerjakan soal matematika itu pada Edo. Wah, mendadak Edo jadi rajin belajar pada minggu-minggu ini.. Sikapnya juga agak sedikit berubah, jadi rada-rada jaim geto. Penampilannya jadi lebih fresh dan wangi, euy. Edo lagi jatuh cinta sodare-sodare. Gimana nasibnya dengan si Toni kembarannya. Uh, sebodo amat. Emang gue pikirin, gitu kata Edo dalam hati. Wah, makin gawat. Gimana dengan komitmen mereka. Udah, dilupain aja. Edo lagi melangit. Gak mau lagi ngurusin makhluk bumi model kayak Toni, si Botak.

“Do ke kantin yuk!” kata Toni

“Enggak ah, gue lagi belajar ama Mira” katanya seolah sibuk memandangi soal matematika yang rumit. Mira memandang Toni sambil tersenyum. Toni pun membalas senyum itu.

“Ya udah gue duluan ya..”

“Ya..” Edo menjawab tanpa memandang Toni yang pergi ke kantin sendirian. Toni jadi rada kesel ama sikap Edo, belakangan ini.

Suatu hari sepulang sekolah, ketika sedang asik jalan-jalan ke pasar (disuruh Ibunya buat beli ember plastik), betapa kagetnya Edo melihat Mira sedang bercanda dengan cowok. Yang lebih mengagetkan lagi, cowok itu adalah Toni, kembaran gokilnya. Mereka berdua cekikikan, ketawa-ketiwi gak karuan. Tapi ia melihat, Mira demikian menikmati obrolan itu. Kontan saja, Edo ngacir dari pasar itu dengan berlari sekuat tenaga sampai-sampai ia tidak mendengar teriakan tukang ember yang mengingatkannya untuk segera membawa ember yang baru saja dibelinya. Ia begitu cemburu.

***
“Kemaren elo kemana, Ton?”toni“Gak kemana-mana?” jawab Toni kalem

“Jangan bohong lo?”

“Emang kenapa? Apa urusan elo?”

“Gue liat elo ngobrol ama Mira. Ngobrolin apa?”

“Bukan urusan elo”

“Elo kan tahu, Ton. Gue suka sama dia”

“Emang elo aja yang boleh suka? Elo boleh tanya ke Mira, siapa yang dia suka?” Jawaban Toni barusan ternyata membuat Edo semakin memanas.

Tanpa sadar, Edo tiba-tiba memukul Toni. Seperti gak mau kalah, Toni pun membalas. Terjadilah duel seru antara dua kembar siang, yang dulu saling menyayangi dan pengertian, berubah menjadi musuh yang saling membenci dan menikam satu sama lain. Untung sekolah udah bubar. Perkelahian itu dilerai oleh penjaga sekolah yang kebelutan lewat.

Wah jadi kacau nih. Apa jadinya dunia kalo dua sahabat yang sudah sangat akrab itu, tiba-tiba jadi musuhan cuma gara-gara masalah cewek. Tragis. Tapi inilah kenyataannya. Sekarang gak ada lagi banyolan-banyolan mereka yang lucu. Bahkan mendengar nama sahabatnya saja, mereka sudah mau muntah (apa iya?), saking bencinya. Anak-anak jadi merasa aneh. Akhir-akhir ini, kelas jadi agak sepi tanpa tawa mereka.

***

“Mira, maaf.. sebentar…gue pengen ngomong” kata Edo sepulang sekolah.

“Sebentar saja!”. Mira yang sedang berjalan pulang bersama temannya tiba-tiba berhenti.

“Oh, iya… Kamu pulang duluan aja ya..” Kata Mira pada Wati, teman yang mengajaknya pulang bersama-sama.

“Enaknya dimana ya? Mmm.. kita ke kantin aja, yuk!” Edo akhirnya memutuskan. Mira agak ragu. “Please, sebentar saja..” Kata Edo memohon.

“Maaf, Do. Disini saja ya..”

“Tapi kurang nyaman..” Kata Edo.

“Ya udah di bangku itu” kata Mira menunjuk bangku yang ada didepan kelasnya. Kelas sudah sepi. Hanya ada beberapa siswa yang lagi maen basket di lapangan.

“Maaf.. sebelumnya udah ngeganggu waktu elo.

“Gak papa” kata Mira tersenyum. Aduh, lagi-lagi lesung pipit itu. Begitu indah. Edo merawang.

“Elo inget pertama kita bertemu” kata Edo

“Iya, waktu perkenalan dulu. Tapi bukan kita berdua doang, bareng-bareng kan?”

“Eh..iya.. maksud gue begitu” Edo jadi salah tingkah.

“Waktu itu gak ada yang bisa jawab pertanyaan Bu Ania. Kita semua kena marah. Lalu tiba-tiba kamu jawab dan bener. Wuah.. senengnya gue bisa bebas dari omelan-omelan Bu Ania yang jutek (jujur dan tekun kali?). Masih inget kan?”

“Iya..” keduanya tertawa cekikan.

“Terus, elo sering ngajarin gue banyak pelajaran yang gue gak bisa. Gue ucapin makasiih banget”

“Gak papa.. Gak usah terima kasih. Sama-sama” katanya masih dalam senyum.

“Sejak pertama ketemu elo, gue udah yakin. Gue bener-bener kagum ama elo. Dan sekarang gue mau ngomong terus terang. Mau gak elo jadi pacar gue? Gue butuh temen yang bisa memacu semangat belajar gue. Dan itu gue dapetin dari elo, Mir. Gimana?”. Akhirnya…

Giliran Mira yang salah tingkah sekarang. Ia bingung harus berkata apa. Mira adalah tipe orang yang sangat berperasaan. Dia seringkali merasa sungkan untuk menolak permintaan bantuan dari orang lain. Apapun itu. Dia terlalu perasa dan gak mau nyakitin perasaan orang lain. Jika ia menolak permohonan bantuan orang lain (entah itu minta diajarin belajar ataw yang lainnya) pada dirinya, pasti dia merasa sangat menyesal setelahnya. Ia baik pada siapa saja.

Tapi ini lain. Seorang cowok dihadapannya memohonnya menjadikan dia pacar. Walaupun ia tahu, Edo itu emang baik dan… lucu. Mengobrol dengan dia bisa berjam-jam saking asiknya.

“Maaf Do, aku pengen kita jadi temen aja seperti biasa”

“Kenapa? Apa karena aku gak cakep sehingga elo malu jalan bareng gue ? atau karena ini?” katanya sambil menunjuk rambut kribonya. Otomatis Mira jadi tersenyum geli.

“Bukan, Do. Suer… Aku seneng bisa berteman ama kamu. Kamu lucu dan menghibur. Apalagi kalo aku benar-benar sedih dan sedang ada masalah. Kamu seolah menjadi teman penghiburku”. Hati Edo merasa tersanjung.

“Lalu kenapa?”

“Aku sudah punya pacar”, dengan berat hati, Mira akhirnya mengatakannya juga.

Hancur sudah hati Edo. “Siapa? Orang mana?”. Jangan-jangan. Hati Edo menduga-duga.

Mira diem aja. “Ya udah inisialnya aja??.. Please..” Edo setengah memaksa.

“Huruf awalnya T”. Hati Edo makin panas. Tubuhnya semakin lemas.

“Tapi elo masih mau kan berteman dengan gue?” Edo bertanya ragu.
Mira mengangguk sambil tersenyum.“Itu yang aku mau dari kamu, Do”

“Terima kasih. Mau gue anter pulang?.. Ataw gak usah takut ada yang cemburu?”

“Enggak lah. Boleh.. aja. Kebetulan aku agak takut di gang Buntu. Banyak premannya”

“Tenang, kalo sama gue.. semua preman pada takut”

“Iya, soalnya kamu tuh pimpinan mereka. Hi..hi..”
Keduanya tertawa.

***

“Woy, Do… “ Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Edo. Istirahat ini dia rada males ke kantin.

“Selamat ye…” Kata Edo setelah melihat orang itu ternyata Toni.

“Selamat apaan?” Toni bingung.

“Ya selamat buat elo yang baru aja jadian ama dia”

“Sama siapa?” Toni terheran-heran.

“Udah deh, Ton. Elo jangan pura-pura gak tahu. Elo jangan mulai lagi pertengkaran ini. Udah akui aja. Gue ikhlas kok. Memang bukan jodoh gue kali” Kata Edo agak meninggi.

“Woy..bukannya gue mau mulai lagi pertengkaran kayak dulu. Malah gue udah bosen diem-dieman mulu ama elo. Rasanya ada yang kurang. Makanya gue mau ngomong ama elo. Tapi elo nya malah sewot gini. Gue gak ngerti apa-apa?”

“Dia udah milih elo buat jadi pacarnya, bukan?”

“Siapa?”

“Siapa lagi kalo bukan Mira…” kata Edo makin kesel.

“Wah, elo salah sangka, Do”

“Tapi dia bilang sendiri, kalo dia udah punya pacar yang inisialnya T. Itu pasti elo kan?”

“Wah.. Do.. Ini salah paham. Emang beberapa waktu lalu, gue ngobrol ama dia. Gue udah nyatain cinta gue ke dia. Tapi dia juga bilang gitu. Udah punya pacar. Tapi bukan di sini. Di sekolahnya yang dulu. Walau pisah, mereka tetap komit dengan janji pacaran mereka”. Toni menghela nafas. “Jadi inisialnya T, ya?”

Oh, jadi begitu. Edo akhirnya tahu.

“Makanya gue nanyain ke elo, barangkali aja elo tau namanya. Abis, katanya kemaren-kemaren elo pernah ngobrol banyak dengan dia” lanjut Toni. Edo menggeleng.

“Gue udah capek, Do. Gue udah mikir lama-lama. Ngapain juga kita musuh-musuhan gini kalo ternyata cewek yang kita sukai udah punya pacar”. Toni menghela nafas panjang. “Maapin gue ya., Do..” kata Toni dengan tulus.

“Mira tahu semuanya tentang kita, Do. Dia merasa gak enak udah jadi penyebab permasalahan antara gue dan elo. Makanya dia minta kita baikan lagi” Toni bercerita. Menerawang. Edo seperti dibawa pada masa-masa indah ketika mereka bersama, dulu.

“Harusnya gue yang minta maap ama elo. Maapin gue ya, Ton!” kata Edo dengan lirih. Keduanya pun berjabatan tangan dengan ritual jabat tangan yang aneh sambil tersenyum.

“Kita memang ditakdirkan untuk bersama” kata Edo lagi.

“Benar kakanda…” kata Toni dengan suara kebanci-bancian.

Mendadak keduanya ketawa keras. Anak-anak yang masih tersisa di kelas mendadak pada kaget dengan penampakan suara yang begitu keras.

“Eh.. tebak-tebakan.. nih! Siapa Menteri Jepang yang lahir di Irian?” kata Toni. “Biasa, kalo menang, gendooong…”

“Umm..mm siapa yah..?” Kata Edo sambil pura-pura mikir. “Kurasa Takada. Bener kan?”

“Tumben elo bener…”kata Toni keheranan.

“Jadi gue digendong kan? Ha…ha…” kata Edo ketawa penuh kemenangan.

Toni cemberut. Walaupun rada-rada geli juga ngeliat rambut Edo yang semakin membumbung ke atas, ia terpaksa menggendong Edo ke kantin. Ia berdoa dalam hati, smoga rambutnya gak akan tumbuh seperti Edo, kembaran siangnya. Ha..ha.. Syukurlah… Kembar Siang telah kembali…

hihi...iseng nih posting Cerpen Cinta Sejati Remaja yang kembar lagi, thanks yah semoga ada yang senang membaca Cerpen Cinta dari saya.